Lalu, pertanyaan terpentingnya, bagaimana dengan Jakarta setelah ibukota negara berpindah ke Nusantara?
Tentu Pemerintah Pusat, pertama-tama, perlu mengubah Undang-undang 27 tahun 2007 Tentang Pemerintah Provinsi DKI sebagai Ibukota Negara dapat menjadi daerah otonom pada umumnya. Setelah itu perlu memformat sistem pemilihan kepala daerahnya – terutama wali kota – apakah dipilih oleh rakyat atau dipilih dengan menggunakan pola sebelumnya? Ini juga perlu dipikirkan kembali karena akan memberikan konsekuensi anggaran atas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung di Jakarta ke depannya.
Sementara itu, di sisi tata kota, persoalan banjir, macet, perumahan, dan lainnya harus tetap menjadi perhatian pemerintah. Kekhawatiran publik adalah pada saat ibukota negara pindah, Jakarta tidak lagi menjadi perhatian sehingga masalah-masalah yang membebani Jakarta tidak terselesaikan. Pembangunan yang sudah berjalan seperti MRT, LRT, dan lain sebagainya tidak seharusnya dihentikan karena ibukota negara pindah. Dan ini pekerjaan rumah yang tidak mudah. Selain itu, sebagai kota yang ditinggalkan oleh penduduknya, Jakarta tidak boleh merosot secara ekonomi karena permasalahan brain drain. Kemungkinan seperti ini sewajarnya harus diantisipasi sejak dini agar dalam jangka menengah dan panjang tidak menghadirkan ketimpangan-ketimpangan baru – terutama di kota-kota satelit Jakarta.
Hal lain yang berimpitan dengan ketimpangan baru adalah kegelisahan publik akan sumber pendapatan yang turut berpindah. Padahal lebih kurang terdapat 12 juta warga yang menggantungkan hidupnya dari roda perekonomian yang berputar di Jakarta. Ketidakmampuan Jakarta baru memenuhi kebutuhan hidup warga masyarakatnya akan turut mendorong tingkat kriminalitas yang semakin tinggi. Apatah lagi sudah sejak lama Jakarta menjadi daerah kekuasaan (bahkan kekerasan) bagi etnik-etnik tertentu yang mencari hidup di ibukota (Tadie, 2023)…