UU IKN mengandung ketentuan yang tidak demokratis yang mengurangi partisipasi masyarakat
Isu selanjutnya adalah tidak adanya pemilihan kepala daerah di ibu kota nusantara; jabatan ini dikenal sebagai Kepala Kewenangan Ibukota Nusantara. Isu tersebut muncul dari Pasal 54 dan Pasal 91 UU IKN yang menyebutkan bahwa presiden mengangkat, mengangkat, dan memberhentikan kepala otoritas langsung setelah berkonsultasi dengan DPR. Oleh karena itu, undang-undang a quo mengatur dalam Pasal 10 ayat (1) bahwa pimpinan otoritas dapat diangkat dan diangkat kembali untuk masa jabatan yang sama, yakni 5 tahun. Hal ini bertentangan dengan Pasal 18 Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 alinea empat, sehingga merusak landasan sistem peradilan demokrasi Indonesia.
Kepentingan konstitusional UU IKN memerlukan argumentasi penegakan hukum dalam masyarakat yang bebas. Misalnya, rumusan Ibukota Negara Nusantara dalam UU IKN seharusnya menjadi provinsi karena frasa “setingkat provinsi” menimbulkan penafsiran dan ambiguitas konstitusional; dan (ii) pengujian formil dan materiil UU IKN terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi sebagai sarana perlindungan terhadap undang-undang yang sesuai dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Rumusan ini juga akan membentuk kepastian hukum konstitusional; (iii) IKN tetap membutuhkan DPRD dalam satuan pemerintahan daerah, dan satuan ini harus menganut cita-cita demokrasi melalui pemilihan umum.