Tantangan Revisi Undang-undang IKN
Fakta terburu-burunya keputusan pemindahan ibu kota melalui Undang-undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara pada 15 Februari 2022 adalah dengan diajukannya undang-undang tersebut oleh Pemerintah untuk direvisi dengan memasukkannya ke dalam Program Legislatif Nasional Prioritas 2023 yang diwarnai penolakan dari dua fraksi yakni Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS) dan Fraksi Partai Demokrat. Sikap Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) menyatakan sikap abstain dan yang mendukung ada enam fraksi yakni: Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Fraksi Gerindra, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) (Detik, 2022). Walaupun pada akhirnya Fraksi Nasdem kemudian ikut menyetujuinya (Liputan6, 2022).
Dalih untuk percepatan pelaksanaan pemindahan ibu kota ke Nusantara digaungkan sebagai prolog rencana revisi tersebut, namun diduga lebih pada kepentingan untuk mengakomodir kepentingan investor (dalam negeri dan luar negeri) yang masih enggan/minim dalam pembangunan IKN, alhasil anggaran IKN akan semakin mengandalkan/membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN).
Alasan mekanisme pengumpulan anggaran menjadi salah satu alasan revisi undang-undang IKN, hal ini diakui oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) (Liputan6, 2022), juga diakui oleh pemerintah bahwa revisi ini mendengar permintaan para investor (CNN, 2022). Tulisan ini mencermati adanya peluang memperbaiki proses formulasi yang kemarin terkesan terburu-buru dan mengabaikan partisipasi publik. Rencana revisi ini menjadi pintu masuk untuk membuka partisipasi seluas-luasnya proses formulasi kebijakan tersebut. Terdapat dua sosial setting yakni menuju election 2024 dan dihentikannya kebijakan PPKM.