Pemilihan Walikota/Bupati
Pembahasan mengenai pemilihan atau pengangkatan Walikota/Bupati yang tidak melalui mekanisme pemilihan langsung sebenarnya telah dijelaskan dalam pasal 1 ayat (3) UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah gubernur dan perangkat daerah provinsi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Lebih lanjut dalam pasal 1 ayat (10) UU 29/2007 tersebut dijelaskan bahwa Walikota/bupati adalah kepala pemerintahan kota administrasi /kabupaten administrasi di wilayah provinsi DKI Jakarta sebagai perangkat pemerintah provinsi DKI Jakarta yang bertanggung jawab kepada gubernur. Hal ini berdampak pada mekanisme pemilihannya tidak berdasarkan pemilu kepala daerah namun diangkat oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan DPRD.
Hal ini menjadi salah satu isu yang menjadi pembahasan apabila suatu saat terjadi perubahan undang-undang yang mungkin saja terjadi apabila DKI Jakarta sudah tidak menjadi ibukota. Perlu disoroti apabila dalam pasal 9 UU 29/2007 yang membahas mengenai otonomi provinsi yang diletakkan pada tingkat provinsi sementara di daerah lain di Indonesia berada di daerah otonomi kabupaten/kota. Isu yang mungkin muncul terkait dengan political risk yang harus diperhatikan apabila DKI Jakarta sudah tidak menjadi ibu kota adalah mungkin dalam beberapa hal ada pertimbangan elektoral yang akan digunakan oleh elite politik di mana ketika terjadi penambahan kursi sehingga bisa jadi suatu saat kemungkinan apabila DKI Jakarta tidak lagi khusus muncul narasi untuk memperluas level otonomi di DKI Jakarta.
Secara lebih spesifik pemilihan Walikota/Bupati di DKI Jakarta dimuat dalam pasal 19 (2) UU 29/2007 yang menyatakan bahwa Walikota/Bupati diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi DKI Jakarta dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Hal tersebut sebagai implikasi terkait dengan level otonomi DKI Jakarta. Jika ibukota…