Epistemik Indonesia

Sekali Lagi Tentang “Menyelamatkan Ruang Publik”

Date

Tulisan singkat ini terinspirasi oleh karya yang disumbangkan oleh Alm. Romo B. Herry Prijono, seorang cendekiawan dan filsuf Indonesia yang berjudul “Menyelamatkan Ruang Publik” dan telah dipublikasikan pada tahun 2010 silam. Tulisan tersebut termuat dalam buku yang secara khusus menyoal ruang publik dengan Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace yang dieditori oleh F. Budi Hardiman. Buku tersebut memuat berbagai tulisan yang sangat reflektif dalam memotret situasi ruang publik kita melalui spektrum pemikiran filsafat. Menyentuh berbagai dimensi dan tema, mulai dari ke-publikan, civil society, kapitalisme dan pluralisme, kebudayaan hingga mengenai berbagai tantangan dalam menatap ruang publik yang salah satunya ditulis oleh Romo Herry . Gagasan dalam tulisan tersebut dilatarbelakangi oleh kegelisahan dari pengetahuan yang didapatkannya bahwa saat itu media mainstream di Indonesia yakni utamanya televisi telah terperangkap dalam imperatif kepentingan pasar bebas. Kendali media tidak lagi pada pemirsanya atau arah kebangsaan akan tetapi logika pasar-industri. Salah satu dari sekian kejernihan yang disumbangkan dalam tulisannya tersebut adalah kecermatan dalam menjelaskan konsepsi kekuasaan yang sama sekali tidak monolitik dalam mempengaruhi ruang publik kita.

Lanskap Media Digital di Indonesia

Dalam buku yang berjudul “Digital Indonesia: Connectivity and Divergency” yang diterbitkan oleh ISEAS Yusof Ishak Institute pada tahun 2017 menunjukkan lanskap media baru di Indonesia. Temuannya adalah era reformasi merupakan titik melesatnya perkembangan bisnis media dan kini oligopoli adalah wajah dari hasil kemenangan perusahaan media mainstream terhadap proses digitalisasi teknologi yang tidak mampu ditolak oleh perkembangan zaman. Kenyataannya dengan adanya teknologi digital media mainstream menjadi yang paling siap menghadapi sebagai tantangan dan justru menjadikannya sebagai peluang. Digitalisasi adalah situasi yang justru mudah diakrabi oleh mereka yang siap dengan modal kapital yang lebih besar. Hasil kemudian tentu adalah pelipatan kapital yang lebih besar menjadikan mereka sebagai oligarki media yang selanjutnya dengan mudah merembes pada kekuatan politik tertentu dan berikutnya turut mempengaruhinya. Yang terjadi kemudian adalah sentralisasi dan jalan kekuasaan semakin ramah pada elite dan sebaliknya media kecil semakin berguguran dan harapan terciptanya divergensi media semakin memudar.

Era media baru sebagai anak kandung transformasi teknologi digital akhirnya membawa berbagai konsekuensi, dalam ranah perkembangan masyarakat fenomena seperti ini dapat dilihat sebagai “trajectory of obsolescing” (McLuhan, 1964) di mana medium baru meluas dan menggeser medium sebelumnya. Media baru adalah juga tombak baru bagi terbentuknya masyarakat jaringan sepertinya dimaksudkan oleh Manuel Castels,…

More
articles