Epistemik Indonesia

Desentralisasi Era Reformasi: Refleksi 25 tahun Demokrasi di Indonesia

Date

Dua puluh lima tahun yang lalu, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Negara pada 21 Mei 1998. Pengunduran diri tersebut, tentunya, membuka jalan bagi proses pendemokrasian di Indonesia karena sebelumnya demonstrasi besar yang terjadi dan berlangsung terus menerus sejak tahun 1996 dilakukan untuk kepentingan perubahan mendasar tersebut. Perubahan ke arah demokrasi di Indonesia dinilai sangat baik oleh lembaga kajian nirlaba, petinggi negara, bahkan beberapa scholars baik dari dalam maupun luar negeri. Diamond (2008) misalnya, menjelaskan bahwa Indonesia adalah sedikit dari beberapa negara yang melakukan demokratisasi dan mampu melangkah ke rejim demokrasi yang kuat walau di tengah gelombang masalah dan tantangan yang besar, “Some new democracies are holding their own (like Mali) and even making progress (like Brazil and Indonesia) in the face of enormous accumulated problems and challenges.” Dua tahun setelah itu, Freedom House (House, 2010) mempublikasi laporan survei yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang terkategori “free.”...

Desentralisasi dan Regresi Demokrasi di Aras Lokal

Tidak dapat dipungkiri bahwa proses desentralisasi di era Reformasi pada awal pelaksanaannya amat diapresiasi banyak lembaga asing. Apresiasi tersebut misalnya datang dari World Bank, Asian Development Bank (ADB), Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ), hingga Ford Foundation (Turner & Podger, 2003). Bukan hanya awal sebenarnya, desentralisasi Indonesia patut diapresiasi karena melahirkan para pejabat daerah yang berkinerja sangat baik. Misalnya seperti Joko Widodo (mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, yang kini menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia), Tri Rismaharini (mantan Wali Kota Surabaya; kini Menteri Sosial), Ridwan Kamil (mantan Wali Kota Bandung; kini Gubernur Jawa Barat), Yoyok Riyo Sudibyo (mantan Bupati Batang), Abdullah Azwar Anas (mantan Bupati Banyuwangi), dan beberapa nama lainnya. Meski begitu, jumlah para champions di daerah sangatlah minim jika dibandingkan dengan kepala-kepala daerah dengan watak sebaliknya (korup) – yang menjadi salah satu akar regresi demokrasi di era desentralisasi Reformasi.

Kendati demikian, perlu dicatat, bahwa analisis serta pembahasan tentang desentralisasi memerlukan penelitian empirik yang lebih hati-hati dan cermat. Ini karena, Penulis dapat simpulkan di awal, desentralisasi di Indonesia bukan hanya berkenaan dengan perkara kemampuan kepala daerah atau pemerintah daerah untuk memformulasi kebijakan yang sesuai dengan keinginan publik ataupun seirama dengan kebutuhan warga, tetapi juga bersinggungan dengan konstelasi kekuasaan dan kepentingan elit daerah maupun pusat. Sehingga terkadang kebijakan yang diformulasi merupakan jalan keluar dari relasi kuasa serta gabungan kepentingan yang saling berkelindan satu dengan lainnya…

More
articles