Desentralisasi dan Regresi Demokrasi di Aras Lokal
Tidak dapat dipungkiri bahwa proses desentralisasi di era Reformasi pada awal pelaksanaannya amat diapresiasi banyak lembaga asing. Apresiasi tersebut misalnya datang dari World Bank, Asian Development Bank (ADB), Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ), hingga Ford Foundation (Turner & Podger, 2003). Bukan hanya awal sebenarnya, desentralisasi Indonesia patut diapresiasi karena melahirkan para pejabat daerah yang berkinerja sangat baik. Misalnya seperti Joko Widodo (mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, yang kini menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia), Tri Rismaharini (mantan Wali Kota Surabaya; kini Menteri Sosial), Ridwan Kamil (mantan Wali Kota Bandung; kini Gubernur Jawa Barat), Yoyok Riyo Sudibyo (mantan Bupati Batang), Abdullah Azwar Anas (mantan Bupati Banyuwangi), dan beberapa nama lainnya. Meski begitu, jumlah para champions di daerah sangatlah minim jika dibandingkan dengan kepala-kepala daerah dengan watak sebaliknya (korup) – yang menjadi salah satu akar regresi demokrasi di era desentralisasi Reformasi.
Kendati demikian, perlu dicatat, bahwa analisis serta pembahasan tentang desentralisasi memerlukan penelitian empirik yang lebih hati-hati dan cermat. Ini karena, Penulis dapat simpulkan di awal, desentralisasi di Indonesia bukan hanya berkenaan dengan perkara kemampuan kepala daerah atau pemerintah daerah untuk memformulasi kebijakan yang sesuai dengan keinginan publik ataupun seirama dengan kebutuhan warga, tetapi juga bersinggungan dengan konstelasi kekuasaan dan kepentingan elit daerah maupun pusat. Sehingga terkadang kebijakan yang diformulasi merupakan jalan keluar dari relasi kuasa serta gabungan kepentingan yang saling berkelindan satu dengan lainnya…