Epistemik Indonesia

25 Tahun Kemudian: Politik Dinasti dan Dominasi Elit di Tingkat Subnasional

Date

Ketika Suharto lengser keprabon 25 tahun yang lalu, tidak terbayangkan bahwa pola penguasaan politik oleh sekelompok elit yang memiliki hubungan kekerabatan akan menyebar ke hampir seluruh pelosok Indonesia. Masyarakat dan aktivis berharap sistem demokrasi yang baru dapat memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang identik dengan rezim Orde Baru. Namun, kenyataan berkata lain. 25 tahun setelah tumbangnya Suharto, Indonesia menyaksikan praktik politik dinasti yang makin menjamur, baik pada tingkat nasional maupun subnasional (provinsi dan kabupaten/kota). Data hasil pemilihan umum kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2015, 2017, dan 2018 menunjukkan ada sekitar 135 politisi dinasti yang keluar sebagai pemenang dan kemudian berkuasa di daerah mereka masing-masing. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila ada pernyataan bahwa politik dinasti telah menjadi sebuah kenormalan baru (new normal) dalam lanskap politik Indonesia hari ini (Kenawas 2020).

Dinasti Politik Pada Tingkat Subnasional

Dinasti politik pada tingkat subnasional yang kita lihat hari ini adalah sebuah fenomena kontemporer dalam politik Indonesia. Benar bahwa pewarisan kekuasaan secara turun temurun dapat dijumpai dalam berbagai periode kesejarahan di Nusantara, baik sebelum maupun setelah terbentuknya Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa modern. Sebagai contoh, pewarisan kekuasaan oleh para aristokrat di Jawa, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Timur pada masa kolonialisme Belanda dan awal kemerdekaan telah dibahas secara panjang lebar oleh berbagai ahli, seperti Sutherland (1979) dan Reid (2014). Namun, fenomena politik dinasti yang muncul hari ini benar-benar berbeda dibandingkan periode sebelumnya.

Ada dua alasan yang menjadi dasar argumen mengapa fenomena politik dinasti yang ada hari ini berbeda dibandingkan periode sebelumnya. Pertama, pewarisan kekuasaan politik yang terjadi pada hari ini tidak berlangsung secara otomatis. Setiap kerabat politisi yang ingin menduduki jabatan politik publik harus berkompetisi dalam pemilu atau pilkada. Akibatnya, akan selalu ada peluang bagi kerabat politisi kalah dalam pemilu dan gagal melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan atau memperluas basis kekuasaan politik keluarga. Beberapa jabatan–seperti jabatan struktural dalam partai politik atau jabatan birokrasi negara– memang dapat diisi oleh anggota keluarga politisi yang sedang atau pernah berkuasa sebelumnya tanpa mereka perlu bersusah payah mendapatkan posisi tersebut. Namun, untuk posisi yang terbuka untuk publik–misalnya kepala atau wakil kepala daerah dan anggota DPR atau DPRD–kerabat politisi harus berjibaku merebut dukungan pemilih, meski mereka tentu diuntungkan dengan status mereka sebagai kerabat politisi. Kondisi ini jelas berbeda dengan pengisian jabatan publik pada masa kolonial Belanda. Pada masa tersebut, seorang bupati memiliki hak untuk mewarisi jabatannya secara langsung pada anggota keluarganya, meski terkadang hak tersebut dapat saja sewaktu-waktu dicabut oleh pemerintah kolonial yang berkuasa saat itu, tergantung kepentingan politik mereka…

More
articles