Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai ibu kota negara yang baru secara ideal seharusnya menampilkan wajah pencapaian Bangsa Indonesia dalam berbagai aspek. Selain modernitas dalam aspek
fisik dan administratif, sejatinya terdapat aspek penting dalam perspektif politik yang perlu diperhatikan, yaitu bagaimana relasi antara keberadaan kota baru tersebut dengan praktik demokrasi, yang dapat dikaitkan dengan bentuk pemerintahan yang akan diimplementasikan di IKN.
Berbagai studi tentang demokrasi telah menggambarkan relasi antara kota dengan demokrasi, antara lain adalah berkembangnya ide kewargaan, tradisi partisipasi, bentuk-bentuk lokal pemerintahan demokratis, dan modal sosial sebagai cara untuk membuat demokrasi bekerja (Low, 2009; Putnam, 1993). Pada sisi lain, terdapat pula ahli politik yang menyatakan bahwa demokrasi tidak selalu terkait dengan keberadaan kota. Pada tingkatan tertentu keberadaan kota dapat menghambat perkembangan demokrasi, bahkan secara ekstrem kota justru dapat mengeliminasi demokrasi. Jean Jacques Roseau mewakili pandangan skeptis, berargumen bahwa keberadaan kota tidak selalu melekat dengan demokrasi, karena kota dapat berkembang menjadi ruang yang koruptif dan membuat warganya menjadi tidak baik (Rousseau, 2008). Dalam perspektif yang lebih pesimistik, Karl Marx dan Engels menyatakan bahwa walaupun terdapat nilai-nilai demokrasi yang berkembang di kota, namun eksistensi demokrasi dikhawatirkan tergerus karena kota telah dikuasai oleh kaum kapitalis (Marx & Engels, 2003).